Ads Top

Merdeka dalam Pikiran, Menyebar Semangat Feminisme di Bumi Kartini

Bicara mengenai feminisme, pada dasarnya bukan melulu menyoal perempuan bertatto, perempuan tomboy dan juga perempuan yang kelaki-lakian dengan ciri khasnya yang lain. Jepara yang sangat dikenal sebagai “Bumi Kartini” seharusnya memiliki semangat tinggi dalam feminisme. Mengingat salah satu pelopor emansipasi perempuan Indonesia adalah R.A Kartini. Kota Jepara khususnya kaum perempuannya sudah selayaknya memberi contoh nyata bagi banyak masyarakat di seluruh Indonesia. 

Feminisme itu sendiri adalah gerakan yang menuntut kesetaraan dan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan, menolak dominasi laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan. Salah satu contoh terdekatnya adalah yang dilakukan oleh R.A Kartini. Beliau mengkritik kultur dan kebiasaan masyarakat Jawa kala itu yang melarang perempuan Jawa mengenyam pendidikan, dan selalu menomorduakan perempuan hanya sebagai pelengkap kehidupan laki-laki.


Sulit dibayangkan betapa perjuangan Kartini kala itu. Seorang perempuan yang berusaha menyebarkan pikirannya dan “meracuni” pikiran perempuan lain untuk bisa membangun kesetaraan dan keadilan hak bagi mereka. Gayung bersambut, singkat kata, Kartini melalui pemikiran-pemikirannya berhasil membawa perempuan Indonesia khususnya Jawa menuju emanipasi. Bisa mengenyam pendidikan yang layak demi kehidupan mereka yang lebih baik.

Pada saat ini, emansipasi ditunjukkan untuk hal yang lebih luas, dan dengan cara yang lebih beragam, ekspresi dari semangat feminisme pun makin beragam bentuknya. Jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul menjadikan para perempuan lebih mudah bergerak, meskipun justru musuh terdekat mereka saat ini adalah bukan lagi penjajah, melainkan stigma sosial; perempuan yang melawan adalah perempuan yang salah.

Predikat “perempuan pembangkang” seharusnya tidak semata-mata dicantumkan pada para perempuan yang memperjuangkan haknya. Misalnya, dalam hal ini, aktivis perempuan yang bergerak secara luas, maupun dalam lingkup yang lebih sempit misalnya seorang perempuan yang berkeputusan meninggalkan kehidupan pernikahan yang timpang dan banyak merugikannya. Bukan berarti melawan kodrat, akan tetapi setiap orang termasuk para perempuan berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik, bukan?

Bias gender yang menjadi warisan turun temurun merupakan salah satu penyebab utama timpangnya kehidupan laki-laki dan perempuan di Indonesia. Perempuan itu merawat, melakukan hal yang lembut-lembut saja, bertugas di rumah, dan tidak akan pernah bisa berada setingkat di atas laki-laki. Pada bias gender inilah, penindasan terhadap perempuan dimulai.

Penindasan pada perempuan, yang sering tidak Kita sadari adalah kekerasan verbal, hingga yang tengah marak beberapa waktu ini adalah kekerasan fisik. Lagi-lagi, hal ini disebabkan oleh stigma masyarakat luas, bahwa perempuan itu lemah dan tempatnya penindasan terjadi. Kekerasan verbal tidak selalu berupa kata-kata kasar, catcalling atau suatu seruan yang mengarah pada tendensi seksual seperti, “sui.. suit.. cewek”, atau yang lebih parah, “neng, jalan sama abang, yuk” juga merupakan kekerasan verbal yang sangat berpotensi mengakibatkan hal yang lebih parah terjadi, semisal kontak fisik hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Menjadi seorang feminis merupakan pilihan, pada dasarnya setiap perempuan memiliki kesempatan dan naluri untuk hal ini. Yang perlu ditingkatkan adalah edukasi feminisme pada para perempuan agar bisa bergerak dan bertindak benar sebagai seorang feminis. Sebagai perempuan, tidak harus menjadi perempuan yang kelaki-lakian untuk menjadi seorang feminis, kodrat sebagai perempuan tidak perlu dihilangkan, tidak perlu membenci laki-laki, atau menolak keberadaan laki-laki. Lebih dari sekedar permasalahan gender, feminisme adalah ajakan untuk wanita agar lebih maju secara ekonomi, sosial, dan juga budaya. Untuk menuju hal ini, yang perlu dibenahi adalah pola pikir dan kebiasaan.

Menjadi perempuan yang merdeka bisa dimulai dari hal yang sangat kecil; angkat dan pasang galon sendiri! Akan sangat rancu di saat Anda berkoar tentang emansipasi, tapi Anda menolak melakukan hal yang sedikit saja berat dengan alasan, “Aku kan perempuan”. Pola pikir semacam ini bisa mulai dihilangkan demi menghilangkan pula anggapan ‘lemah’ yang nantinya akan berujung penindasan pada perempuan.

Jepara gudangnya perempuan-perempuan beremansipasi, mulai dari perajin ukir, karyawan pabrik, beberapa juru parkir, serta perempuan-perempuan tangguh di sektor lainnya akan sangat banyak ditemui di Kota ini. Seharusnya, Kita mendorong mereka untuk melanjutkan perjuangan Kartini, pendahulunya. Namun, kembali lagi pada sikap diskriminasi bahwa perempuan tidak seharusnya “banyak bergerak”. Cibiran, ketidakpercayaan, hingga hal lain yang lebih parah seringkali terjadi akibat pergerakan perempuan semacam ini.

Padahal, perempuan yang bergerak semata-mata memperjuangkan hak sesama perempuan, keluarga dan juga dirinya sendiri. Untuk menjadi perempuan merdeka, mulailah untuk tidak mencibir sesama perempuan mulai dari penampilan, status sosial dan hal lain yang memungkinkan menjadikan seorang perempuan merasa rendah diri. Bagaimana Anda bisa menjadi perempuan merdeka sementara kaum Anda sendiri Anda jatuhkan?

Nah, bagi perempuan-perempuan Jepara, ayo, kita teruskan semangat emansipasi yang seharusnya melekat kuat dalam diri Kita. Merdekakan pikiran, belenggu feodalisme sudah lama diruntuhkan, lalu, mengapa harus kembali terpenjara oleh pikiran-pikiranmu dan mereka yang mengekangmu untuk maju?

Tidak ada komentar:

Leave comment here

Diberdayakan oleh Blogger.